Rekomendasi Slow Bar di Yogyakarta, Ngopi Santai Penuh Makna
Bertandang ke Yogyakartabakal lengkap dengan menyicip racikan kopinya. Dengan konsep slow bar, pengalaman ngopi pun jadi lebih santai dan bermakna.
Era popularitas kopi susu melihat minuman kopi disajikan praktis dan cepat. Bahkan kopi bisa ditenteng ke mana pun oleh penikmatnya. Situasi ini jelas berbeda dengan slow bar.
Konsep slow barmemberikan keleluasaan bagi barista untuk meracik kopi. Sementara itu, pelanggan bebas bertanya, berbagi cerita selama menunggu kopinya jadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :![]() |
1. Tadasih
Kedai kopi Tadasih sempat mencuri perhatian publik saat buka di Pasar Baru, Jakarta Pusat pada 2019. Namun setelah sekitar 2 tahun, kedai buka di Kecamatan Kraton, Yogyakarta.
Ferza Febrian, pendiri Tadasih, mengaku memanfaatkan Jakarta untuk 'exposure' kedainya.
"Di Jakarta itu bukan untuk cari duit, tapi awareness. Cukup dua setengah tahun, terus di sini tinggal jalan," ungkap Ferza saat ditemui di awal 2024.
![]() |
Memperhatikan dinamika Tadasih, mungkin Anda tidak akan menyangka Ferza menangani semuanya seorang diri. Di hadapannya ada lima buah serverdengan jenis kopi berbeda. Sembari menyeduh, ia berinteraksi dengan pelanggan yang tak jarang melontarkan tanya atau curhat.
Yang menarik, kedai kebanyakan melayani pelanggan yang ngopi sebelum berangkat kerja. Ferza pun hapal dengan pelanggan tetap plus pesanannya.
Di kedai ini, Ferza hanya menyediakan kopi seduh manual (manual brew) menggunakan V60 baik panas maupun dingin.
Biji kopi yang ditawarkan antara lain Mekarwangi (Jawa Barat), Pulu-pulu (Sulawesi), Kerinci (Jambi) dan Guji Mesina (Ethiopia). Kopi dibanderol mulai dari Rp30 ribu.
Selain kopi, Tadasih menyediakan kudapan berupa apem yang dihargai Rp5 ribu per buah.
Lihat Juga :![]() |
2. Pitutur Kopi
Beranjak ke kawasan Sariharjo, Ngaglik, Sleman, ada Pitutur Kopi. Kedai ini tak hanya menawarkan pengalaman ngopi yang santai, tapi juga privat.
Pasalnya, Anda musti antre ketika Ponco Kusumo, pemilik sekaligus barista, sedang melayani pelanggan lain.
Anda bisa melihat Ponco menyeduh kopi dengan pilihan biji kopi antara lain Sariwani (Probolinggo), Padmana Empus Said (Gayo), Ratamba (Jawa Tengah), Ethiopia Wubanchi (Ethiopia), dan Guji Hambel Buku Abel (Ethiopia). Anda bisa memesan kopi seduh manual (filtered coffee) atau espresso.
![]() |
Ponco bercerita, lewat kedai ini ia berhadapan langsung dengan pelanggan dan berkesempatan untuk memberikan edukasi tentang kopi.
"Pola antrean pada praktiknya kopi jadi, udah [bergantian dengan pelanggan lain]. Kami melayani pelanggan, traffic-nya sesuai dengan kemampuan kami," kata Ponco yang sehari-hari melayani pelanggan bersama sang istri, Addelweise.
Jika ingin berkunjung ke Pitutur Kopi, sebaiknya Anda rajin mengecek unggahan akun resmi Instagram kedai. Di sana terdapat informasi jam operasional kedai keesokan harinya.
Jika beruntung, Anda bisa menikmati kopi plus menyicip kue buatan Addelweise.
Simak rekomendasi slow bar lainnya di halaman berikutnya..
3. Wijen Coffee
Bagaimana jadinya jika pasangan suami istri berbisnis kedai kopi? Pasangan Chandra dan Nisa menunjukkannya lewat kedai Wijen Coffee yang berada di kawasan Plumbon, Banguntapan.
Meski jam operasionalnya terbilang sempit, tapi kedai mampu menawarkan kopi nikmat plus roti segar dan hangat.
Lihat Juga :![]() |
"Jam bukanya memang sore karena, kan, deket bengkel. Bengkelnya tutup sore, jadi suasananya lebih nyaman buat tamu," ujar Chandra.
Anda bisa melihat kerja sama suami-istri di mana Chandra bertanggung jawab dengan racikan kopi, sementara Nisa membuat roti. Kalau mampir, Anda wajib menyicip roti cranberry-nya.
Untuk kopi, pilihannya cukup beragam antara lain Aurora (Gayo), Gayo Avatara (Aceh), Seven Village (Jambi), dan Red Hybrid (Jawa Barat).
Kedai didesain sehingga suasananya mirip rumah lawas. Alhasil, ngopi di sini mungkin seperti sedang mudik ke rumah nenek.
Merencanakan kunjungan? Sebaiknya cek akun Instagram kedai untuk memastikan jam operasional kedai di hari tersebut.
4. Gayo Ngopi
![]() |
Tak seperti kedai kopi yang Anda bayangkan, Gayo Ngopi menawarkan pengalaman ngopi dengan suasana angkringan.
Pemilik sekaligus barista Gayo Ngopi Agam Zafin menuturkan, konsep angkringan ini modalnya tidak sebesar ketika mendirikan kedai kopi biasa. Pun ia ingin memperkenalkan kopi Gayo, kopi dari Aceh, kampung halaman Agam.
Meski berkonsep angkringan, Anda tidak akan menemukan nasi kucing, gorengan, dan aneka sate. Di sini Anda disodori kopi Gayo dengan beragam proses pascapanen seperti proses wash, peaberry, honey, natural, dan wine.
Berada di kawasan Mergangsan, Kota Yogyakarta, angkringan berada persis di depan Asrama Mahasiswa Aceh atau seberang Lapas Kelas IIA Wirogunan. Buat pelanggan, menikmati kopi seduh manual di angkringan jelas jadi pengalaman berbeda.
Lihat Juga :![]() |
Sementara buat Agam, ini jadi hal yang menyenangkan sekaligus tantangan. Tak jarang ia menemukan pembeli dengan segala pertanyaan 'ajaib' mereka.
Suatu ketika ia ditanya mengenai tsunami Aceh 2004 silam. Buat orang Aceh, bahasan tsunami memang jadi bahasan yang sangat sensitif.
"Dia tanya, 'Kok mas enggak mati?'. Padahal sebelumnya saya bilang saya kehilangan anggota keluarga saat itu," ujarnya.
Untuk menikmati kopi di sini, Anda cukup merogoh kocek mulai dari Rp18 ribu untuk kopi panas dan mulai dari Rp20 ribu untuk kopi dingin. Selain kopi seduh manual, ada juga kopi susu dan menu non-kopi.
5. Lestari Yogyakarta
![]() |
Pencarian kedai kopi Lestari Yogyakarta menghantarkan siapa pun pada suasana Selokan Mataram yang masih sepi. Terletak di Cepit Baru, Depok, Sleman, kedai memang tak menonjol dan berdiri berjajar dengan toko-toko lain.
Kedai satu ini hanya buka pagi pukul 07.00 hingga sekitar pukul 12.00 WIB. Menurut Tiar, sang pemilik sekaligus barista kedai, jam operasional kedai mengikuti jam kerja sekaligus jam produktif dirinya.
Kedai ini hanya menyajikan kopi seduh manual dengan pilihan biji kopi antara lain Cimanggu, Wanoja, Gayo Kupas Kismis, Puntang, Ethiopia Gera, yang dihargai Rp25 ribu (panas) dan Rp28 ribu (dingin).
Lihat Juga :![]() |
Sementara Las Flores, Flores Gulang, dan Aek Nabara dihargai Rp30 ribu untuk seduh panas dan Rp33 ribu untuk seduh dingin. Kenapa lebih mahal? Tiar menjelaskan harganya berbeda sebab proses pengolahan pascapanen lebih rumit ketimbang jenis biji kopi lain.
Luas kedai memang tak seberapa, tapi 'traffic' pelanggan jangan ditanya. Karena sudah berlangganan lama, ada yang hanya menaruh tumbler dan menunggu kopinya di luar. Tiar memang hapal dengan pesanan sejumlah pelanggan tetap kopinya.
Pun tak jarang ada yang minum di tempat sembari ngobrol. Bertandang ke Lestari Yogyakarta memang seperti ngopi di rumah teman. Ada kopi nikmat plus obrolan memikat.
"Kita jadi pendengar aja, bahkan ya jadi tempat curhat [pelanggan]," ujar Tiar disusul tawa.